PENDAHULUAN
Berbagai perubahan kurikulum telah dilakukan oleh pemerintah, berbagai konsep dalam pembelajaran telah banyak diperbaiki. Namun, hasil dari semua perubahan dan perbaikan masih belum terasa, terutama jika dilakukan perbandingan dengan negara-negara tetangga. Kondisi yang ada di Indonesia ini mulai mengkhawatirkan. Sungguh suatu ironi, jika pada era Bung Karno, bangsa Indonesia mampu mengekspor tenaga pendidik ke Malaysia, pada era globalisasi yang diekspor oleh bangsa Indonesia adalah tenaga kerja yang terkategorikan sebagai tenaga kerja kasar (unskilled worker) atau istilah lebih ekstrem lagi adalah mengekspor pembantu.
Mahasiswa yang diharapkan sebagai agent of change, sebagai bagian dari masyarakat ilmiah, justru lebih sering terekspos sebagai agen perkelahian. Tindakan-tindakan mereka lebih banyak meresahkan masyarakat daripada memberikan suatu pencerahan dan pemberdayaan pada masyarakat. Tentu tidak fair jika menyalahkan mahasiswa semata, peran perguruan tinggi dan tenaga pendidik dalam menciptakan fenomena ini juga cukup signifikan.
Kasus-kasus kriminal lainnya yang menjadi headline media massa menunjukkan bahwa teknik kejahatan yang dilakukan tergolong sophisticated crimes yang menuntut adanya suatu keahlian khusus, seperti: pembobolan ATM, pemanipulasian pajak, lobbying kepada pengambil keputusan (makelar kasus), dan sebagainya. Artinya para pelaku kejahatan tersebut berasal dari kalangan terdidik (educated and skilled person). Mereka mempunyai skill yang dipergunakan dengan keliru yang memunculkan white collar crimes.
Skill merupakan bagian dari proses pendidikan. Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan yang ada sebenarnya sudah mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkeahlian, hanya saja masih belum diimbangi dengan pembentukan SDM yang mempunyai karakter luhung. Einstein jauh-jauh hari sudah memberikan suatu peringatan bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama layaknya orang buta, agama tanpa ilmu pengetahuan layaknya orang lumpuh.
Pada tanggal 2 Mei 2010, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, pemerintah melalui Kemendiknas meluncurkan sebuah program pendidikan, yang dikenal dengan Pendidikan Karakter. Penulis menilai pemerintah mulai menyadari adanya suatu “kekeringan” rasa kemanusiaan dalam sistem pendidikan saat ini. Dominasi ranah kognitif dan psikomotorik harus dikurangi, ranah afektif sudah seharusnya menjadi fokus utama. Sehingga terbentuklah manusia-manusia yang berkarakter luhung, berbudi pekerti tinggi. Manusia-manusia seperti inilah yang diharapkan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi jauh lebih baik, menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya tinggi.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas pendidikan karakter yang dijadikan sebagai upaya untuk meningkatkan budaya kesantunan dalam menghadapi persaingan global.
PENDIDIKAN KARAKTER:
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN BUDAYA KESANTUNAN
DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL
A. Pendidikan Nasional
1. Tujuan Pendidikan Nasional
Sesuai dengan Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap perubahan zaman. Pendidikan nasional diharapkan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis.
2. Karakteristik Pendidikan Nasional
Malik Fadjar (2005) menekankan bahwa pendidikan nasional haruslah mempunyai karakter yang berbasiskan pada budaya dan agama. Perdamaian bisa dicapai dengan mendayagunakan institusi-institusi pendidikan, agama, dan kebudayaan. Dengan penggabungan ketiga hal tersebut, diharapkan tertanam pandangan hidup bahwa manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Murdyahardjo (2001) menjabarkan karakteristik pendidikan nasional sebagai berikut:
a. Karakteristik Sosial Budaya, pelestarian budaya-budaya asli dari seluruh daerah di Indonesia serta penyerapan budaya asing yang dapat mengembangkan dan memperkaya budaya sendiri yang berakarkan pada Bhineka Tunggal Ika.
b. Karakteristik Dasar dan Fungsi, yang berdasarkan pada Pancasila sebagai dasar negara, pembukaan UUD 1945, dan regulasi-regulasi pemerintah lainnya.
c. Karakteristik Tujuan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.
d. Karakteristik Kesisteman (Sistemik), pendidikan nasional merupakan sebuah sistem yang menjadi sub sistem dari sistem kehidupan bernegara-kebangsaan untuk mencapai tujuan nasional.
3. Tantangan Pendidikan Nasional
Hal terberat adalah mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang begitu mulia. Kenyataan di lapangan tidaklah semudah di atas kertas. Pendidikan nasional telah menghadirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia, tetapi berbagai peristiwa yang tidak mencerminkan manusia berpendidikan juga banyak terjadi.
Sebagian masyarakat ternyata kurang toleran terhadap perbedaan suku, ras, maupun golongan yang berbeda. Sedikit saja perbedaan pendapat, harapan, keinginan, atau prakarsa mudah sekali menimbulkan pertikaian bahkan pembunuhan. Peristiwa tawuran antar warga kampung, warga kampus, sesama aparat, sampai dengan sesama anggota dewan yang terhormat kerap kali menjadi headline berbagai media cetak maupun elektronik.
Menurut Sukardjo dan Komarudin (2009), hal tersebut terjadi dikarenakan adanya pemutarbalikan makna terhadap konsep Bhinneka Tunggal Ika. Tatanan Orde Baru mengambil pendekatan dan strategi yang keliru dalam mengelola relasi sosio-budaya dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Dengan dalih menjaga keamanan dan kestabilan, prinsip keseragaman lebih didahulukan daripada apresiasi dan toleransi terhadap perbedaan dan keanekaragaman. Dengan kata lain, multikulturalisme tidak mendapat ruang, sementara monokulturalisme mendominasi.
Suparno (2002) mengibaratkan pendidikan di Indonesia seperti mobil tua yang mesinnya rewel yang sedang berada di tengah arus lalu lintas di jalan bebas hambatan. Pendidikan di Indonesia tidak diarahkan untuk memanusiakan secara utuh lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan kepada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai kemanusiaan dan budi pekerti. Soedijarto (2008) menegaskan bahwa apresiasi output pendidikan terhadap keunggulan nilai humanistik, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal.
B. Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pada Sarasehan Nasional yang diadakan di Mataram, Sabtu 17 April 2010, Kementerian Pendidikan Nasional mempunyai suatu program yang disebut dengan Rencana Aksi Nasional (RAN), yang salah satunya adalah Gerakan Nasional Pendidikan Karakter. Pendidikan Karakter menjadi concern Kemendiknas dikarenakan sering timbulnya tindakan-tindakan anarkis yang melibatkan pelajar dan mahasiswa.
Karakter dapat dimaknai sebagai kehidupan berprilaku baik/penuh kebajikan, yakni berprilaku baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manusia, alam semesta, dan terhadap diri sendiri.
Secara substantif karakter terdiri atas 3 (tiga) operatives values (values in action), atau tiga unjuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan, yakni moral knowing, moral feeling, and moral behavior.
Lickona (1992) menegaskan bahwa “In character education, it’s clear we want our children are able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right-even in the face of pressure form without and temptation from within. (Dalam pendidikan karakter kita ingin agar anak mampu menilai apa yang baik, memelihara secara tulus apa yang dikatakan baik itu, dan mewujudkan apa yang diyakini baik walaupun dalam situasi tertekan dan penuh godaan).
Pendidikan Karakter merupakan proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Peserta didik diharapkan memiliki karakter yang baik meliputi kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat, peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah HATI (kejujuran dan rasa tanggung jawab), PIKIR (kecerdasan), RAGA (kesehatan dan kebersihan), serta RASA (kepedulian) dan KARSA (keahlian dan kreativitas). Moto Pendidikan Karakter adalah pendidikan tanpa karakter, perdagangan tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, politik tanpa prinsip/etika, semuanya tak berguna dan sangat membahayakan.
2. Pilar Pendidikan Karakter
a. Pilar Keluarga
Keluarga menjadi pilar pertama dalam pendidikan karakter. Dalam keluarga, anak-anak memperoleh pemahaman mengenai karakter yang baik dan buruk. Orang tua menjadi guru yang pertama bagi mereka.
b. Pilar Sekolah
Pilar berikutnya adalah pilar sekolah, masa ketika anak-anak telah memasuki usia untuk menempuh pendidikan formal.
c. Pilar Masyarakat
Pilar ketiga adalah masyarakat, tempat anak bersosialisasi selain rumah dan sekolah.
3. Penerapan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter idealnya diterapkan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). Mengingat aktifitas penulis umumnya pada PT, maka penulis memfokuskan penerapan pendidikan karakter pada PT. Terdapat beberapa kegiatan yang bisa dijadikan sebagai bentuk aplikasi dari pendidikan karakter, diantaranya:
a. Tenaga Pendidik Sebagai Panutan
Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, telah menekankan pentingnya ketauladanan. Salah satu filosofi beliau adalah ing ngarso sung tulodo, yang bermakna bahwa seorang pendidik hendaknya memberikan teladan yang baik kepada anak didiknya. Alangkah naifnya, jika seorang pendidik menjelaskan tentang bahaya merokok, sementara jejemari tangannya sedang memegang sebatang rokok yang menyala.
Pendidik profesional seyogyanya bisa menjadi panutan bagi anak didiknya. Untuk bisa menjadi tenaga didik yang profosional, terdapat empat kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga pendidik, yaitu: (1) kompetensi pedagogik (kompetensi mengelola pembelajaran peserta didik); (2) kompetensi kepribadian (berkejiwaan mantap, berakhlak mulia, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik); (3) kompetensi profesional (penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam); dan (4) kompetensi sosial (mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia sekitarnya). Jika keempat kompetensi ini dimiliki oleh tenaga pendidik, terutama kompetensi kepribadian dan social, maka peserta didik secara tidak langsung sudah memperoleh pendidikan karakter. Ada pepatah yang mengatakan: ‘mediocre teacher tells, good teacher explains, great teacher inspires’. Maka, jadilah pendidik yang mampu memberi inspirasi bagi peserta didik.
Kriteria dalam mengukur keprofesionalan tenaga pendidik bisa dilihat dalam UU Guru dan Dosen BAB III Pasal 7, terdapat sembilan ketentuan yang disebut sebagai prinsip profesionalisme. Prinsip-prinsip profesionalisme tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme
(2) Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia
(3) Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas
(4) Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas
(5) Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
(6) Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja
(7) Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat
(8) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesional
(9) Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenagan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
b. Pemberian Materi/Kisah Kebajikan atau Doa pada Setiap Matakuliah
Pada awal atau akhir kegiatan belajar mengajaar di kelas, dibiasakan untuk berdoa sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Diharapkan hal ini akan selalu mengingatkan peserta didik akan nilai-nilai dan norma-norma mulia pada setiap ajaran agama. Selain itu, pemberian materi atau kisah-kisah kebajikan yang disisipkan pada setiap matakuliah juga akan menyegarkan memori peserta didik tentang pentingnya menjadi orang yang berbudi pekerti tinggi.
c. Sistem Penilaian
Saat ini sistem penilaian lebih banyak didasarkan pada kemampuan kognitif dan psikomotorik yang melihat pada hasil ujian tertulis ataupun ujian praktek, kemampuan afektif masih belum dianggap sebagai salah satu faktor penentu. Mungkin ada beberapa pendidik yang sudah menerapkan faktor: keterlambatan, aktifitas di kelas, pola tutur kata, dan sebagainya, sebagai faktor yang mempengaruhi penilaian. Namun, akan lebih terasa jika hal tersebut dijadikan sebagai kebijakan perguruan tinggi. Artinya, semua pendidik wajib memasukkan unsur-unsur afektif sebagai faktor penentu dalam sistem penilaian.
d. Penggalakkan KKN PPM
Pada saat ini PT sudah mulai meninggalkan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) karena dianggap tidak efektif. KKN selama ini memang identik dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial: sekedar membangun monumen sebagai tanda pernah KKN, belum menyentuh kegiatan-kegiatan yang bisa memberdayakan masyarakat. Oleh karena itu, Dirjen Dikti yang bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada meluncurkan suatu program yang diberi nama Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN PPM).
Masyarakat, dalam model KKN PPM ini bukan lagi sebagai obyek melainkan sebagai subyek bersama perguruan tinggi dalam meningkatkan potensi diri dan wilayahnya untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. KKN PPM bertujuan untuk:
1. Meningkatkan empati dan kepedulian masyarakat lemah
2. Melakukan terapan IPTEKS secara teamwork dan multi-/interdisipliner. Jadi, KKN PPM merupakan kegiatan berbasis riset.
3. Menanamkan nilai-nilai kepribadian:
a. Nasionalisme dan jiwa Pancasila
b. Keuletan, etos kerja, dan tanggungjawab
c. Kemandirian, kepemimpinan dan kewirausahaan
4. Meningkatkan daya saing nasional
5. Menanamkan jiwa peneliti:
a. Eksploratif dan analisis
b. Mendorong learning community dan learning society.
Demi menggalakkan KKN PPM, Dikti juga memberikan dana hibah melalui program ESD (Education for Sustanaible Development). Dana ini bisa diperoleh dengan mengajukan proposal KKN PPM yang kegiatannya berupa pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. Disamping itu, Bank Mandiri juga menyatakan kesanggupan membiayai, melalui program CSR Mandiri, jika kegiatan KKN PPM menekankan pada pembentukkan/pendirian unit usaha kecil pada masyarakat.
PT yang menerapkan KKN PPM secara tidak langsung telah memberikan pendidikan karakter bagi mahasiswanya dalam hal: mengasah kepedulian sosial, kemandirian dan kepemimpinan (jiwa wira usaha), riset, etos kerja (kreatifitas), serta rasa tanggung jawab.
C. Pendidikan Tinggi yang Berdaya saing Global
Perguruan tinggi sebagai salah satu media penerapan pendidikan karakter harus meningkatkan kualitas diri, jika tidak, maka mahasiswa akan memilih untuk menempuh melanjutkan studi pada PT asing. Dengan studi di PT asing, maka karakter-karakter yang terbentuk adalah karakter asing. Untuk meningkatkan daya asing PT di era global, terdapat beberapa cara, diantaranya:
1. Internasionalisasi PT
Universitas Indonesia (UI) pada saat ini sedang merancang strategi agar UI menjadi PT Bertaraf Internasional (world class university). Menurut rektor UI, Prof. Soemantri, yang dimuat dalam Majalah Pendidikan CERDAS edisi Maret-April 2010, ada tiga strategi dasar dalam membangun PT berstandar internasional, yakni:
a. Konsolidasi Internal
Filosofi konsolidasi internal adalah incorporation capacity building, yang mencakup empat kegiatan: (1) sentralisasi keuangan, yang bertujuan untuk membangun budgeting system yang terpadu demi efisiensi dan operational line yang jelas, cepat, dan efektif; (2) integrasi SDM, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menghapuskan ego sektoral staf akademik; (3) integrasi infrastruktur, dimaksudkan untuk menciptakan resource sharing yang akan mendukung proses pengajaran dan penelitian lintas disiplin atau fakultas; dan (4) integrasi struktur dan sistem akademik, yang dilakukan melalui pemetaan yang akurat berkenaan dengan berbagai struktur di PT.
b. Horisontalisme
Kompleksitas persoalan dalam dunia modern tidak dapat lagi diselesaikan secara monodisiplin. Dengan demikian, PT harus menjadi pusat keilmuan yang tak bersekat (knowledge without walls). Fakultas ataupun Program Studi bukan lagi struktur administrasi yang kaku, melainkan kumpulan kelompok riset yang memiliki benang merah keilmuan.
c. Kolaborasi Global
Identik dengan horisontalisme, namun dalam tataran yang lebih luas, dilakukan antar PT baik dalam maupun luar negeri. Dalam rangka inilah, UI membuat roadmap 2009-2012, yang diantaranya: pada tahun 2012, 50% dari seluruh matakuliah di UI harus diberikan dalam bahasa Inggris.
2. Penerapan Pusat Sumber Belajar Virtual (PSB-V)
PSB-V disosialisasikan oleh, Prof. Soepeno, seorang staf ahli Kemendiknas, bertempat di Universitas Negeri Malang (UM). Menurut Prof. Soepeno, sebagaimana yang termuat dalam Majalah Pendidikan CERDAS edisi Maret-April 2010, penerapan PSB-V ini sudah dilakukan oleh pemerintah Australia semenjak tahun 1992. Sehingga, bisa dikatakan, Indonesia cukup terlambat dalam menerapkan PSB-V.
Dengan PSB-V, pendidik dan peserta didik tidak lagi menggunakan buku secara fisik. Semuanya dikemas dalam bentuk e-book. PSB-V tidak menggunakan jalur internet, namun intranet. Sehingga akses data bisa dilakukan lebih cepat. Materi yang disampaikan menjadi sangat menarik karena adanya visualisasi dan efek animasi, terutama untuk ilmu-ilmu eksakta.
Namun, PSB-V ini juga menuntut biaya yang tidak sedikit. Setiap lembaga pendidikan yang berniat menerapkan sistem ini terkena biaya, sekitar, Rp. 90 juta untuk pengadaan peralatan dan Rp. 300 ribu perbulan untuk biaya intranet. Kemendiknas memperkirakan kebutuhan dana sekitar 1,9 triliun untuk seluruh sekolah di Indonesia, belum termasuk perguruan tinggi. Selaras dengan slogan pemerintah propinsi Jawa Timur, ‘Jer Besuki Mowo Beyo’, demi mencapai kemajuan ada biaya yang harus dikeluarkan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sistem pendidikan sudah mampu menciptakan manusia-manusia yang mempunyai skill, hanya masih diperlukan perbaikan-perbaikan, utamanya pada ranah afektif.
2. Pendidikan Karakter bertujuan untuk memberikan pengetahuan tentang hal yang baik dan buruk, kemudian membuat hal yang baik menjadi suatu kebiasaan.
3. Pendidikan Karakter memfokuskan pada: Olah Hati, Olah Pikir, Olah Raga, Olah Rasa dan Karya.
4. Pilar Pendidikan Karakter ada tiga, yaitu: Pilar Keluarga, Pilar Sekolah, dan Pilar Masyarakat.
5. Penerapan Pendidikan Karakter pada perguruan tinggi bisa melalui tiga cara: penyisipan kisah kebajikan atau membiasakan berdoa, penetapan faktor-faktor afektif sebagai salah satu komponen dari sistem penilaian, dan penggalakkan program KKN PPM.
6. Perguruan tinggi harus bisa berdaya saing secara global. Peningkatan daya saing PT bisa dilakukan dengan cara internasionalisasi PT dan penerapan PSB-V.
B. Saran
1. Perlunya konsistensi dari pemerintah untuk melaksanakan program-program sudah ada. Jangan lagi terjadi keadaan: ‘ganti pemerintah, ganti kebijakan’. Sehingga program yang dijalankan tidak bisa tuntas.
2. Pemerataan sarana dan prasana pendidikan, terutama pada daerah-daerah terpencil, perlu dijadikan perhatian, sebelum dilakukan suatu standarisasi mutu pendidikan.
Daftar Referensi
Majalah Pendidikan CERDAS. 2010. Surabaya: PT JePe Press Media Utama
Malik Fadjar, A. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Permendiknas No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
.
Sarasehan Nasional. 2010. Pendidikan Karakter. Mataram: Kemendiknas RI
Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: Kompas
Sudibyo, Retno. 2010. Materi Sosialisai KKN PPM dan Hibah ESD. Denpasar: Kemendiknas RI
Sukardjo dan Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Suparno, Paul, dkk. 2002. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.